Headlines News :
Home » » Cicak Vs Buaya Jilid II Kian Nyata

Cicak Vs Buaya Jilid II Kian Nyata

Written By Unknown on 8/04/2012 | 05.51

JAKARTA - Upaya Mabes Polri untuk menghalangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyidik anak buahnya semakin nyata. Mendadak kemarin (2/8), Bareskrim menetapkan tersangka terhadap lima orang yang diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM.


Padahal, beberapa di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Perseteruan Polri vs KPK pun memanas. Lima orang itu adalah Wakil Kepala Korlantas Brigjen Pol. Didik Purnomo (DP) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK), AKBP Teddy Rusmawan (TR) sebagai ketua lelang, Kompol Legimo (LGM) sebagai bendahara, dan dua orang pemenang tender. Yakni Soekotjo Bambang dari PT Citra Mandiri Metalindo dan Budi Susanto dari PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI).
    ’’Penetapan mereka sebagai tersangka sejak 1 Agustus lalu. SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, Red) sudah dikirim ke Kejaksaan Agung,’’ kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol. Anang Iskandar kemarin (2/8). Dia menambahkan, dalam waktu dekat mereka akan ditahan.
    Brigjen Didik dan dua pengusaha swasta lainnya sebenarnya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 27 Juli lalu. Diduga ini adalah upaya Polri untuk melindung Didik dan beberapa petinggi polisi lainnya. Dengan ditahannya Didik oleh Mabes Polri, maka KPK akan kesulitan melakukan upaya hukum terhadapnya. Misalnya memeriksa atau menahannya. Padahal, KPK berjanji terus mengembangkan kasus ini hingga akar-akarnya.
    Anang mengklaim dengan ditetapkannya mereka berlima sebagai tersangka, kewenangan penyidikan ada di pihak Mabes Polri. Dia rupanya perlu menegaskan itu agar tidak ada penegak hukum lain yang ikut menyidik mereka dalam kasus yang sama. ’’Dengan penetapan ini sudah jelas bahwa kami berkewajiban menyidik kelimanya. Dalam waktu dekat dilanjutkan dengan pemeriksaan pendalaman,” katanya.
         Mantan Kapolwiltabes Surabaya itu menambahkan, penetapan mereka sebagai tersangka karena keterlibatan dalam pengadaan simulator SIM. Mereka bertiga diduga bekerja sama untuk memperkaya diri. Karena itu, pasal sangkaan yang dijeratkan kepada mereka adalah pasal korupsi.
    ’’Mereka terlibat dalam satu rangkaian kegiatan pengadaan barang dan proses lelang. Anggarannya sudah ada dalam DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran, Red) kegiatan Korlantas. Kami menyidik soal pengadaan barang dan jasanya,” ujar dia.
    Anang mengakui proses lelang dilakukan secara terbuka melalui seorang perwira yang ditunjuk sebagai pimpinan proyek. Namun, ada permasalahan di dalam proses lelang dan pelaksanaannya. ’’Soal prosesnya sudah benar, tetapi di dalam proses itu ada permasalahan-permasalahan. Karena itu, kami menyidiknya. Bisa juga bahwa prosesnya benar, namun di dalamnya ada fakta-fakta yang tidak benar,” katanya.
         Mengapa penetapan tersangka ini terkesan mendadak setelah penggeledahan kantor Korlantas dan bekas Kakorlantas Irjen Pol. Djoko Susilo menjadi tersangka? Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Boy Rafli Amar yang mendampingi Anang membantah anggapan tersebut. Dia mengklaim bahwa penyelidikan awal sudah dilakukan jauh sebelumnya. ’’Tidak ada yang dadakan. Semuanya sudah sesuai perhitungan,’’ ucapnya dengan ekspresi muka tegang.
    Boy menegaskan bahwa Mabes Polri sudah berkoordinasi dengan KPK. Termasuk soal barang bukti. Pihaknya akan memilah-milah mana yang menjadi kewenangan KPK dan mana yang menjadi kewenangan kepolisian. Boy menambahkan, pihaknya tak mau disebut berebut menetapkan tersangka dalam perkara tersebut. ’’Setelah DS ditetapkan jadi tersangka, kami tidak lagi menyidiknya,” ujar dia.
         Boy mengungkapkan, para perwira yang ditetapkan sebagai tersangka dalam waktu dekat akan dibebastugaskan. Tujuannya, mereka bisa kooperatif dan penyidikan bisa cepat rampung.  ’’Bapak-bapak yang jadi tersangka tidak dibebani lagi dengan pelaksanaan tugas pokok dan tanggungjawab. Semuanya telah didelegasikan pada tingkat yang lebih rendah. Itu sudah kami lakukan,’’ katanya.
         Boy mengaku sangat kaget saat Djoko ditetapkan sebagai tersangka. apalagi lagi korps Bhayangkara baru tahu justru melalui media. KPK seperti sengaja tidak memberitahukannya. Padahal, kata Boy, dalam nota kesepahaman yang ditekan antara KPK dan Polri disepakati untuk saling memberitahu apabila ada kasus yang terkait internal instansi masing-masing.
         ’’Yang kami tahu, proses penggeledahan memang sampai pukul 03.00. KPK masuk pukul 17.00 sore, pukul 03.00 disepakati antarpimpinan untuk menempatkan barang bukti di Korlantas. Seharusnya semua berdasar kesepakatan, penggeledahan sebelumnya belum ada pemberitahuan dan koordinasi. Menegakkan hukum kan harus koordinasi, apalagi di antara kita ada MoU,’’ katanya.
         Namun, klaim Mabes Polri yang menyatakan sudah mengirim SPDP ke Kejagung dibantah Wakil Jaksa Agung Darmono. Dia menegaskan bahwa pihaknya tidak menerima SPDP tersebut.  ’’Kami belum menerima SPDP atas nama-nama itu,’’ katanya kemarin (2/8).
         Padahal, peran SPDP sangat penting. Surat tersebut biasanya dikirim ke Kejagung untuk memberitahukan bahwa suatu perkara sudah naik ke tahap penyidikan. Tujuannya, Kejagung segera menyiapkan jaksa peneliti untuk meneliti berkas perkara kasus tersebut. Dalam SPDP juga dicantumkan nama-nama tersangka.
         Hal senada diungkapkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Andhi Nirwanto. Dia menegaskan pihaknya belum menerima SPDP dalam perkara pengadaan simulator SIM.  ’’Tidak ada. Kami belum terima,’’ katanya.
         Sementara itu, pimpinan KPK langsung mengambil sikap soal pengumuman tersangka baru yang diumumkan Polri. Kemarin, usai upacara pelantikan Warih Sadono yang diangkat sebagai deputi penindakan KPK, Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya Bambang Widjojanto langsung mengumumkan bahwa Didik Purnomo sebenarnya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
    ’’Saya tegaskan memang secara resmi kami belum menyampaikan tersangka selain DS (Djoko Susilo). Namun untuk diketahui, ketika status kasus ini dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan, kami sudah menetapkan tersangka yang lain,’’ kata Abraham Samad di kantornya kemarin.
         Lebih lanjut dia menegaskan bahwa tersangka selain Djoko adalah mantan Wakakorlantas Brigjen Didik Purnomo (pejabat pembuat komitmen), Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto, dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo Bambang. Atas ulahnya, mereka dijerat dengan pasal 2 ayat 1 UU Tipikor jo pasal 55 KUHP.
    ’’Untuk para tersangka ini sprindik (surat perintah penyidikan) sudah ditandatangani pada 27 Juli,’’ kata Abraham dengan nada tegas. Dengan begitu, maka status Didik cs sebagai tersangka sudah sejak 27 Juli terhitung sejak sprindik ditandatangani ketua KPK.
         Nah, jika polisi baru menetapkan Didik cs sebagai tersangka Rabu (1/8) lalu, maka bisa dipastikan KPK adalah penegak hukum yang pertama melakukan penyidikan terhadap kasus ini. Dan jika KPK sudah menyidik kasus ini terlebih dahulu, berarti penegak hukum yang lain harus menghentikan penyidikan dan menyerahkannya kepada KPK. Apalagi pasal yang dikenakan para tersangka di Mabes Polri juga sama dengan pasal di KPK.
         Dasar dari keharusan polisi segera menghentikan penyidikan lantaran kasus ini lebih dulu ditangani polisi adalah Pasal 50 ayat 1 - 4 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam Pasal ayat 1 dijelaskan, jika KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah disidik oleh kepolisian atau kejaksaan, maka kepolisian dan kejaksaan wajib memberitahukan KPK paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
         Pasal 2 menyatakan, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasisecara terus menerus dengan KPK. Sedangkan dalam Pasal 3 malah ditegaskan lebih lanjut jika KPK sudah mulai melakukan penyidikan kasus yang sama, maka kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Bahkan Pasal 4 mengatur jika dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan hasrus segera dihentikan!
         ’’Berdasarkan Pasal 50 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah dijelaskan bahwa KPK terlebih dulu melakukan penyidikan, maka yang lain membantu KPK agar berjalan lancar,’’ kata Abraham dengan nada tegas. Abraham memang memperhalus kata-kata harus menghentikan penyidikan menjadi harus membantu.  ’’Tapi tentu saja kami yang lebih dulu," ujarnya lagi.
         Namun, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dengan nada tegas menambahkan jika kepolisian patuh dengan undang-undang yang berlaku, maka korps penegak hukum baju cokelat itu harus segera menghentikan penyidikan dan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK.  ’’Tahapannya sudah penyidikan dan KPK sudah menangani kasus ini, maka penegak hukum harus memberhentikan kasusnya,’’ kata Bambang.
         Tetapi, Bambang mengaku akan terus berkoordinasi dengan pihak Mabes Polri dalam menangani kasus ini. Kata Bambang, sejak awal melakukan penggeledahan, pihaknya sudah terus berkoordinasi dengan pihak polri meski dalam perjalanan penggeledahan ada sedikit miskomunikasi dengan penyidik Bareskrim Mabes Polri.
         Apakah dalam waktu dekat KPK akan melakukan memanggil atau upaya paksa lainnya terhadap para tersangka?  ’’Tentu saja kami akan melakukan upaya-upaya selanjutnya, tapi itu adalah kewenangan penyidik,’’ kata Bambang.
         Bahkan Abraham menegaskan pihaknya juga akan mengembangkan apakah para tersangka ini nantinya juga akan dijerat dengan undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang hukumannya jauh lebih berat dari pasal korupsi biasa. Tentu saja itu harus berdasarkan alat bukti.  
         Saat disinggung soal rencana Polri untuk segera menahan para tersangkanya yang juga tersangka KPK, Abraham dan Bambang menanggapi enteng.  ’’Kami belum tahu informasi soal itu (rencana penahanan), jadi belum bisa kami tanggapi,’’ kata Abraham. (kyd/jpnn/c1/ary)
SBY Harus Cegah Konflik
Prestasi besar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan korupsi proyek simulator SIM Korlantas Mabes Polri yang menyeret mantan Kakorlantas Irjen Pol. Djoko Susilo sebagai tersangka terus mengundang reaksi.
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari tanpa sungkan mengatakan bahwa reformasi di tubuh kepolisian memang baru sebatas kelembagaan dan belum menyentuh aspek kultural. ’’Reformasi kultur macet total,’’ kata dia dalam diskusi membongkar kasus korupsi di tubuh Polri di gedung parlemen kemarin (2/8).
    Eva mencontohkan, platform kepolisian yang hendak memosisikan diri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dalam penerapannya justru jauh dari itu. Dalam berhadapan dengan masyarakat, nuansa militeristisnya tetap dominan.
     Selain itu, lanjut Eva, kultur korup di kepolisian juga belum bisa dihilangkan. ’’Ada gap luar biasa. Perwira dilayani bawahan dan kaya luar biasa. Kalau ada yang mau naik pangkat, ada setoran; minta pindah, ada setoran; mendaftar pendidikan, ada upeti. Pernah ditanyakan ke Kapolri, jawabanya meliuk-liuk. Jadi memang ada masalah integritas dalam manajemen kepolisian,’’ kritik politikus PDIP itu.
     Dalam kasus korupsi simulator SIM Korlantas tersebut, kepolisian semakin menunjukkan ketidakdewasaannya. Eva mencontohkan, ada pejabat kepolisian yang menyebut tidak menemukan unsur korupsi. Belakangan, Kabareskrim Mabes Polri disebut telah menetapkan lima tersangka, tak termasuk Irjen Pol. Djoko Susilo.
      ’’Perlawanan kepolisian berlanjut. Kelihatan sekali kehendak untuk menyerimpeti (menghadang, Red) KPK masih berlangsung secara kelembagaan. Dalam hal ini, Kapolri yang harus disalahkan. Yang pusing Pak Tarman (Kabareskrim Polri Komjen Pol. Sutarman). Dititipi macam-macam, harus menyelamatkan teman,’’ beber Eva.
     Supaya lebih fair, dia berharap Polri menyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut kepada KPK. ’’Biar tidak ada pejabat Polri yang pasang badan untuk menyelamatkan teman,” tegasnya lagi.
    Eva menyampaikan kekhawatiran akan terjadinya konflik antarlembaga, yakni antara Polri dan KPK, sebenarnya bisa dicegah Presiden SBY. Apalagi, pemberantasan korupsi merupakan program andalan SBY. Sebagai kepala pemerintahan, SBY juga punya otoritas untuk mengoordinasikan kementerian dan semua lembaga negara.
    ’’Semua bergantung SBY. Kalau ada anak buah yang tidak sevisi, tetapi tidak ditertibkan, berarti SBY belum serius. Kapolri itu yang milih SBY. Jadi seharusnya Kapolri manut. Kalau tetap pembiaran, tidak ada ketegasan agar semua penyidik seirama, ya mbujuki (berbohong),’’ kata Eva yang terpilih dari daerah pemilihan Jatim 4 itu.
     Sementara pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyatakan, persoalan tersebut kembali menunjukkan arogansi kepolisian dalam mewujudkan kekuasan. ’’Ini negara hukum atau negara apa? Kok kekuasaan yang diutamakan. Kepolisian menjadi semacam penguasa,’’ kata dia.
     Bambang berharap kepolisian tidak mengganggu proses hukum yang dikerjakan KPK. ’’Biar KPK menuntaskan, aliran dan ke mana saja,’’ ujarnya.
    Di tempat yang sama, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Alfons Loemau menyampaikan, bukan kali ini saja badai korupsi di Polri melibatkan perwira tinggi. ’’Setiap pemegang jabatan cenderung melakukan penyimpangan. Sulit menemukan petinggi yang hidupnya sederhana. Jika dibandingkan anak buah yang hidup di asrama, para petingginya tinggal di perumahan mewah,’’ katanya.
    KPK, menurut Alfons, harus secepatnya menangkap dan menahan Djoko yang telah berstatus tersangka. ’’Kenapa ragu-ragu? Kenapa takut? Kenapa untuk kasus bupati Buol itu begitu heroik? Mengapa ini tidak?’’ pancing Alfons. Dia percaya kasus Djoko menjadi titik balik yang sangat baik bagi kepolisian. Terlebih, sejak 2 Maret 2012, Djoko menjadi gubernur Akpol.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Sedulur-sedulur jangan lupa komentarnya ya!

 
Support : Creating Website | AFAS | Ali Topan
Copyright © 2012. kabarpringsewu - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger